Proses penyembuhan suatu penyakit erat kaitannya dengan obat, dan tidak dipungkiri antimikroba menjadi salah satu pilihan obat yang digunakan masyarakat secara luas, karena dipercaya selalu memberikan efek kesembuhan. Salah satu kelompok masyarakat tersebut adalah ibu hamil. Perlu kita ketahui bahwa ibu hamil mengalami perubahan fisiologis dalam tubuhnya, perubahan ini menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus, volume total tubuh, dan curah jantung. Sistem kekebalan tubuh juga mengalami perubahan, sehingga lebih mudah terjangkit penyakit. Beberapa penyakit yang sering muncul pada masa kehamilan antara lain anemia, infeksi saluran kemih, hipertensi, diabetes melitus gestasional, infeksi saluran pernapasan, dan bahkan infeksi serius lainnya yang dapat mengancam jiwa ibu dan janin dalam kandungannya.
Selama kehamilan, janin mendapatkan oksigen dan nutrisi melalui organ yang disebut plasenta. Di situasi tertentu, plasenta dapat membantu melindungi janin dari infeksi ketika berada di dalam rahim. Jika ibu hamil terserang infeksi, plasenta akanmembantu melindungi janin dari infeksi tersebut. Salah satu contoh kondisi pada ibu hamil yang tidak memerlukan penggunaan antimikroba adalah ketika ibu hamil mengalami flu biasa atau kondisi ringan lainnya. Ibu hamil dapat melakukan perawatan diri seperti: mandi dengan air hangat, menggunakan uap air panas pada hidung yang tersumbat ketika flu, penggunaan semprotan hidung dan berkumur dengan larutan yang mengandung garam non yodium (WebMD, 2021). Selain itu diperlukan tindakan untuk mencegah terjadinya infeksi dengan mencuci tangan secara teratur, menyiapkan makanan secara higienis, dan menghindari kontak dekat dengan orang sakit (WHO, 2020).
Namun ada kalanya ibu hamil juga membutuhkan terapi atau pengobatan karena jika infeksi tidak diobati dapat menyebabkan persalinan dini, kematian bayi baru lahir, atau masalah pada organ bayi. Salah satu terapi yang digunakan adalah pemberian antimikroba. Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi (WHO,2020).. Akan tetapi tidak semua antimikroba aman untuk ibu hamil dan janinnya, karena beberapa antimikroba dapat melewati sawar darah plasenta dan mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan (WebMD, 2021). Maka ketika ibu hamil mengonsumsi antimikroba, harus diperhitungkan rasio resiko manfaat bagi kesehatan ibu dan janin dikandungannya dengan cara penyesuaian dosis dan monitoring serta pengkajian yang tepat (Brandon, 2015).
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan ketika pemberian antimikroba pada ibu hamil, antara lain: menghindari penggunaan antimikroba pada trimester pertama, pengecekan laboratorium untuk mengonfirmasi jenis infeksi mikroba, pemberian dosis antimikroba sekecil mungkin, pemberian antimikroba dalam waktu singkat dan efektif, serta penggunaan hanya satu jenis antimikroba (WebMD, 2021). Menurut reviewpenggunaan antimikroba pada ibu hamil oleh Brandon (2015), rata-rata 1 dari 4 ibu hamil akan diresepkan antimikroba. Beberapa jenis antimikroba yang aman untuk masa kehamilah antara lain: penisilin, ampisilin, klindamisin, metronidazole (untuk trimester 2 dan 3), dan eritromisin. Sedangkan, beberapa jenis antimikroba yang tidak aman selama masa kehamilan antara lain: tetrasiklin, sulfonamida, fluorokuinolon, streptomisin, kanamisin, dan aminoglikosida (WebMD, 2021).
Beberapa contoh resiko yang ditimbulkan dari penggunaan antimikroba selama masa kehamilan antara lain gangguanperkembangan tulang dan menghitamkan gigi bayi yang sedang berkembang yang disebabkan oleh penggunaan antimikroba golongan tetrasiklin. Tetrasiklin tidak dianjurkan untuk digunakan setelah minggu kelima masa kehamilan. Contoh lainnya yaitu antimikroba golongan sulfonamida dapat menimbulkan gangguan pada jantung, bibir sumbing, dan penyakit kuning. Sulfonamida umumnya dihindari selama trimester pertama kehamilan dan menjelang waktu persalinan (Mayo Clinic, 2021).
Penggunaan antimikroba yang tidak tepat pada ibu hamil dapat membahayakan janin serta berkontribusi pada terjadinya resistensi antimikroba. Hal ini dikarenakan penggunaan antimikroba terkadang dihentikan ketika sudah mulai merasa lebih baik atau sembuh. Akan tetapi pengobatan sampai selesai diperlukan untuk membunuh mikroba penyebab penyakit.Kegagalan pengobatan antimikroba yang tidak sampai selesai dapat mengakibatkan meningkatnya penyebaran sifat resisten antimikroba khususnya mikroba yang berbahaya, Oleh karena itu, sangat penting untuk menggunakan antimikroba sampai habis (WebMD, 2021).
Menurut WHO 2020, resistensi antimikroba merupakan salah satu ancaman terbesar dan mendesak bagi dunia kesehatan saat ini karena dapat berdampak pada peningkatan lama tinggal pasien rawat inap, biaya pengobatan, dan berujung pada peningkatan kematian bagi siapapun pada semua rentang usiadan di mana pun. Resistensi antimikroba terjadi secara alamiah, tetapi penggunaan antimikroba yang salah dapat mempercepat proses resistensi tersebut.
Resistensi mikroba terjadi karena mikroba telah berubah dalam beberapa cara sehingga bakteri tidak dapat dieradikasi oleh antimikroba. Setiap mikroba yang mampu bertahan dari pengobatan antimikroba dapat berkembang biak dan meneruskan sifat resistennya. Sehingga ketika mikroba yang sudah resisten tersebut menginfeksi, infeksi menjadi sulit untuk diobati. Oleh sebab itulah ketepatan penggunaan antimikroba menjadi penting karena mempengaruhi seberapa cepat dan sejauh mana resistensi terjadi (Mayo Clinic, 2021).
Dengan adanya resistensi antimikroba, beberapa obat yang dulunya merupakan lini pertama pengobatan suatu infeksi, sekarang menjadi kurang efektif atau tidak bekerja sama sekali. Sehingga dipilihlah terapi lini kedua bahkan lini ketiga untuk pengobatan. Ketika antimikroba tidak lagi berpengaruh pada jenis mikroba tertentu, mikroba tersebut dikatakan resisten antimikroba (Mayo Clinic, 2020).
Pencegahan resistensi antimikroba merupakan tanggungjawab dari seluruh pihak, sehingga perlu adanya upaya bersama dalam pengendalian antimikroba. Dokter dapat berperan dalam penegakan diagnosa pasien dan peresepan antimikroba. Apoteker dapat berperan dalam skrining peresepan antimikroba, seperti pengecekkan administratif resep, dari kelengkapan identitas dokter dan pasien, pengecekkan dosis antimikroba yang rasional, penyampaian informasi yang jelas dan lengkap kepada pasien terkait cara minum obat, aturan minum obat, edukasi pemakaian antimikroba sampai habis. Selain itu apoteker juga bertanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi pemakaian antimikroba. Di samping itu, apoteker dan dokter dapat berkolaborasi dan bersinergi untuk menentukan pilihan terapi antimikroba yang tepat berdasarkan diagnosa dari dokter. Penegakan peraturan perundang-undangan sepertiPeraturan Menteri Kesehatan RI nomer 2406 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik juga perlu diterapkan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Tak lupa, masyarakat juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam pengendalian antimikroba. Masyarakat harus berperan aktif untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan lengkap terkait antimikroba yang didapatkan. Hal yang terpenting adalah perubahan mindset bahwa tidak semua penyakit akan sembuh hanya dengan antimikroba.
Oleh karena itu marilah kita dukung optimalisasi penggunaan antimikroba dan peningkatan kesadaran serta pemahaman akan dampak resistensi antimikroba. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran resistensi antimikroba antara lain, penggunaanantimikroba yang hanya berdasarkan peresepan dari dokter, tidak menggunakan antimikroba jika memang tidak diperlukan, serta mengikuti saran petugas kesehatan saat menggunakan antimikroba misalnya tepat waktu dan durasi pengobatan. Antimikroba tidak diperbolehkan untuk dibagi kepada orang lain ataupun menggunakan antimikroba sisa dari orang lain. Mari kita berlaku bijak dalam setiap penggunaan antimikroba.
Oleh :
Apt. Cornelia Melinda, S.Farm, Apt. Margaretha Wulan K, S.Farm, Apt. Dias Rosari L, S.Farm
Sumber:
Brandon, et al, 2015, A Review of Antibiotics Use in Pregnancy, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26598097/
WHO, 2020, Antibiotic Resistance, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/antibioticresistance
WebMD, 2021, Is It Save to Take Antibiotics While Pregnant,https://www.webmd.com/baby/safe-to-take-antibiotics-while-pregnant#1
Mayo Clinic, 2020, Antibiotics: Are You Misusing Them,https://www.mayoclinic.org/healthylifestyle/consumer-health/in-depth/antibiotics/art-20045720?pg=2
Mayo Clinic, 2021, Is It Safe to Take Antibiotic DuringPregnancy, https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/pregnancy-week-by-week/expert-answers/antibiotics-and-pregnancy/faq-20058542.
Peraturan Menteri kesehatan RI Nomor 2406 tahun 2011.
Info Pelayanan :
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Lantai 1 Gedung Rawat Jalan Borromeus
Jl Cik Ditiro 30 Yogyakarta 55223
Senin – Minggu, pk 07.00 – 20.00 WIB