Rasanya bangga sekaligus penuh syukur saat aku diwisuda menjadi perawat. Rasa haru pun mewarnai hatiku saat mengucap janji. Setelah itu aku mulai menekuni profesiku sebagai perawat. Saat pertama kali masuk ke bangsal tempat aku ditugaskan, ada rasa canggung dan sedikit takut pada kakak senior.
Apalagi, aku mendengar bahwa kakak-kakak senior yang bertugas di situ galak-galak. Ternyata kabar bahwa kakak-kakak senior itu galak tidak terbukti. Yang aku rasakan mereka memang gesit, tegas, namun toh tetap lembut dan sabar. Mereka ternyata ramah dan mau membantu aku memasuki tugas-tugas.
Hari demi hari tugas sebagai perawat kugeluti dengan semangat. Namun, tidak begitu saja aku dapat menghayatinya. Kurasakan bahwa tugas sebagai perawat adalah tugas seni. Maksudku tugas melayani menjadi keterampilan pribadi. Setiap perawat memiliki cara melayani yang berbeda, sesuai dengan kepribadian masing-masing. Di samping itu, aku pun merasakan bahwa tugas perawat itu unik. Maksudku dalam melayani pasien ternyata tidak bisa disamakan, karena setiap pasien ternyata unik. Ini menjadi tantangan yang tidak ringan. Namun demikian, aku berjuang terus untuk mencintainya. Pada waktu itu di sal tempat aku bertugas, pasiennya banyak yang tergolong setengah tua sampai lansia. Ada seorang pasien bernama Ibu Darmi. Beliau berumur sekitar lima puluh tahun. Sakitnya macam-macam (komplikasi). Banyak teman mengatakan bahwa Ibu Darmi itu sangat rewel dan manja. Itu masukan yang kuterima dari teman-teman.
Pada suatu hari aku harus melayani Bu Darmi. Kucoba melayani Bu Darmi sebaik mungkin. Dalam hati aku khawatir, jangan-jangan ia sungguh rewel dan membuat aku sewot. Pengalaman pertama melayani Bu Darmi ternyata kesanku lain. Ia sama sekali tidak rewel dan manja. Ia justru tampak menaruh sikap baik kepadaku. Aku menjadi heran. Di hari- hari berikutnya, saat aku harus melayaninya aku mulai biasa. Kuajak dia berbincang-bincang. Ternyata ia sangat senang. Bahkan, aku dikenalkan dengan anak perempuannya yang menungguinya. Aku pun kemudian menjadi akrab dengan Bu Darmi dan anak perempuannya. Kebetulan Bu Darmi dirawat cukup lama sehingga hubunganku dengan Bu Darmi pun menjadi sangat baik. Sepertinya ia sangat senang bila aku melayaninya.
Kondisi Bu Darmi menurun. Anak-anaknya secara bergantian menungguinya. Pada suatu sore, suami Bu Darmi dengan anak perempuannya mencariku di asrama. Heran, mengapa aku dicari? Ada apa dengan Bu Darmi? Kutemui suami Bu Darmi dengan putrinya. Setelah kupersilakan duduk, sepertinya ada sesuatu yang aneh. Suami Bu Darmi maupun putrinya tampak bingung. Untuk memecahkan suasana yang kaku, kuberanikan untuk bertanya seputar keadaan Bu Darmi. Juga kutanyakan maksud kedatangan mereka.
Dengan sedikit ragu suami Bu Darmi mengutarakan maksud kedatangannya. Ia bermaksud memperkenalkan aku dengan anak laki-lakinya. Mendengar itu aku sendiri merasa heran. Untuk apa diperkenalkan. Setelah mengutarakan maksudnya dan mungkin melihat aku seperti orang "linglung" beliau segera minta pamit. Sebelum pulang bapak itu mengambil sepucuk surat dari sakunya, lalu memberikannya kepadaku. Kuterima surat itu begitu saja.
Segera aku kembali ke kamar. Kubaca surat itu. Betapa terkejut hatiku ketika membaca isi surat itu. Dalam surat itu, Bu Darmi menginginkan aku untuk menjadi menantunya. Dan permintaan yang lain, yang lebih mengagetkan lagi, aku diminta menikah dengan anak laki-lakinya sesegera mungkin, sebelum Bu Darmi meninggal.
Kontan hatiku menolak. Bagaimana mungkin ini kulakukan? Punya niat nikah saja belum. Kenal saja belum. Aku baru saja lulus.
Aku sungguh bingung, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kuberanikan diri untuk membicarakan masalah ini dengan kepala bangsalku. Beliau menasihati supaya aku tetap tenang dan bersikap sewajarnya saja terhadap keluarga pasien tersebut. Suster kepala bangsal akan membantu aku untuk menjelaskan kepada keluarga Bu Darmi. Setelah menerima surat itu semangat kerjaku mulai menurun. Apalagi setiap kali kakak-kakak senior menggodaku. Mengapa mereka malah menggodaku? Mengapa justru tidak membantu aku? Mungkin sekali mereka menggodaku supaya aku lebih santai dan relaks. Akan tetapi, sepertinya aku justru semakin tidak punya jalan keluar. Untung sekali suster kepala bangsal memberi perhatian kepadaku. Rasanya masih ada kesejukan yang membuat aku tidak terbenam dalam masalahku.
Kusadari, kalau aku hanya memikirkan soal ini aku tidak mungkin dapat memberikan pelayanan terhadap sesama yang membutuhkan, apalagi melayani Bu Darmi. Setiap kali akan melayani Bu Darmi aku mohon supaya Tuhan menyertaiku. Kuusahakan agar sikapku terhadap Bu Darmi dan keluarganya tetap seperti semula. Aku tidak ingin menunjukkan sesuatu yang berlebihan, apalagi sampai membuat Bu Darmi tersinggung. Kalau penolakanku kutunjukkan secara frontal jangan-jangan malah membuatnya menderita. Kucari waktu untuk menjelaskan. Akan tetapi, sampai beberapa kali bertemu belum juga bisa kukatakan. Bu Darmi pun tidak menyinggung permintaannya. Namun, dari sikapnya yang sangat menyayangi aku dan dari pandangan matanya aku menangkap bahwa Bu Darmi sepertinya menantikan sebuah jawaban dariku.
Hatiku yang semula ingin marah dan protes berubah menjadi kasihan. Ini membuat aku semakin bingung, bagaimana aku harus menjelaskannya. Sementara suster kepala bangsal masih mempercayakan kepadaku untuk menyelesaikan sendiri. Beberapa hari setelah aku bisa menata hatiku dan kulihat Bu Darmi tampak segar, kucoba untuk bicara. Rencananya aku ingin menyampaikan isi hatiku. Ketika aku datang, Bu Darmi tersenyum. Senyuman seorang ibu. Aku dipersilakan duduk. Dan tanganku dipegang. Aku jadi bingung. Kata-kata yang sudah kususun hilang. Yang keluar adalah kata-kata keperawatanku, "Bagaimana, Ibu merasa lebih segar?" dan lainnya. Untuk mengisi waktu aku bercerita tentang tugas-tugas sebagai perawat. Kemudian juga aturan- aturan yang harus ditaati oleh perawat, termasuk aturan kalau mau menikah. Mendengar ceritaku, Ibu Darmi mengangguk-anggukkan kepala. Aku sendiri heran, mengapa bisa keluar ide semacam ini. Sebelumnya tak terlintas sedikit pun untuk menceritakan tentang hidup perawat yang langsung dihubungkan dengan aturan kalau mau menikah. Karena ada tugas lain, segera aku minta pamit. Aku pergi masih dengan rasa heran atas apa yang telah kukatakan.
Hari berikutnya, ketika aku lewat, Bu Darmi memanggil aku. Aku segera mendekat. Pelan-pelan Bu Darmi berkata, "Nak Suster, maafkan Ibu ya? Ibu telah menyusahkan Nak Suster. Ibu terlalu menuntut. Lupakan apa yang pernah Ibu minta." Katanya sambil mencium tanganku, bagaikan adegan dalam sinetron. Aku sungguh terharu. "Nak Suster, bolehkan kalau Nak Suster Ibu anggap sebagai anak sendiri?" kata Bu Darmi. Aku pun mengangguk. Kulihat Bu Darmi begitu bahagia. Anggukan kepalaku telah membahagiakan Bu Darmi. Ternyata kalau aku mau, membahagiakan orang lain itu tidak terlalu sulit.
Diambil dari buku: Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Harapan
Editor: Sindhunata Penerbit: Kanisius Cetakan: 1999
|